Thursday, January 16, 2014

Etika, Underground Economy, dan Zakat

Dr Irfan Syauqi Beik

“(Ada) lima perbuatan (yang akan mengakibatkan) lima malapetaka :(1). Tidaklah suatu bangsa mudah mengingkari janji, kecuali akan dikendalikan oleh musuh-musuh mereka, (2). Tidaklah mereka berhukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah, kecuali akan tersebar kekafiran, (3). Tidaklah merajalela di suatu tempat perzinahan, kecuali akan merajalela pula penyakit yang membawa kematian, (4). Tidaklah mereka mempermainkan takaran / timbangan atau kwalitas suatu barang, kecuali akan dihambat tumbuhnya tanaman, dan akan disiksa dengan kemarau panjang, dan (5). Tidaklah mereka menahan zakat, kecuali akan dihambat turunnya hujan yang membawa keberkahan” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)
Hadits di atas menggambarkan sejumlah perilaku yang akan mengundang malapetaka. Dari perspektif ekonomi, hadits tersebut memiliki sejumlah pesan yang sangat penting. Paling tidak, ada tiga pesan utama yang ingin disampaikan Rasulullah SAW terkait dengan persoalan ekonomi dan bisnis. Pertama, urgensi etika bisnis yang benar dan kesesuaiannya dengan syariah (shariah compliance). Kedua, bahaya illegal economy atau underground economy apabila ia merajalela di suatu wilayah atau negara. Ketiga, urgensi membangun zakat dalam perekonomian.
Etika bisnis dan underground economy
Pada pesan yang pertama, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya untuk memiliki etika bisnis yang benar dan sesuai dengan syariah. Pada hadits tersebut, basis etika yang harus dimiliki oleh setiap pebisnis adalah kejujuran dan integritas. Dua sifat yang sangat menentukan kinerja perekonomian, baik pada level makro maupun mikro.
Pada level makro, ketiadaan integritas dan kejujuran akan melahirkan budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini akan mengakibatkan beragam dampak buruk yang akan mereduksi kualitas kinerja perekonomian. Sebagai contoh, dalam suatu studi, World Bank menyatakan bahwa korupsi telah mengakibatkan dunia ini kehilangan lima persen dari GDP (Gross Domestic Product)-nya. Demikian pula dalam konteks Indonesia. Munculnya seruan untuk tidak membayar pajak, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua PBNU Said Agil Siradj belum lama ini, merefleksikan betapa frustasinya masyarakat terhadap perilaku korup para pejabat dan elit negara ini.
Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka bangsa Indonesia akan dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan asing, maupun oleh para komprador atau mafia lokal yang bekerja untuk kepentingan asing yang merusak. Indikatornya sederhana saja, yaitu ketika desain kebijakan ekonomi semuanya menguntungkan kaum pemodal besar dan kelompok asing, sehingga dengan mudahnya mereka meraup keuntungan dari kekayaan bangsa ini.
Pada level mikro, hilangnya kejujuran dan integritas individu, akan mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan dan entitas bisnis lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan yang mampu menjaga reputasi dan integritasnyalah yang akan bertahan dalam persaingan global yang semakin ketat ini. Bahkan unsur etika inipun menjadi salah satu dasar penilaian bagi industri keuangan syariah dalam menyalurkan pembiayaannya.
Hal berikutnya adalah urgensi menjaga aspek shariah compliance. Ini menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi ekonomi syariah. Perbankan syariah misalnya, harus bisa menampilkan pola negosiasi dengan nasabah yang mencerminkan nilai ekonomi syariah. Menyepelekan aspek ini akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap ekonomi dan keuangan syariah, yang berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap ajaran Islam tentang ekonomi. Seolah-olah ekonomi dalam Islam sama saja dengan ekonomi konvensional.
Kemudian pada pesan yang kedua, Rasul SAW menegaskan kepada kita bahwa praktek-praktek underground economy seperti prostitusi, perdagangan manusia, dan penyalahgunaan narkoba, walaupun secara ekonomi menguntungkan, namun hanya akan melahirkan beragam kemadharatan. Biaya sosial yang ditimbulkan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang dirasakan. Karena itu, pemerintah harus secara tegas mengeliminasi praktek-praktek ekonomi ilegal ini melalui upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh. Jangan sampai aktivitas ilegal ini dibiarkan beroperasi dengan leluasa di negara ini.
Zakat
Sedangkan pesan yang ketiga adalah terkait dengan pembangunan zakat. Sudah saatnya zakat dijadikan sebagai instrumen penting dan terintegrasi dalam pengelolaan kebijakan ekonomi negara. Zakat adalah media yang akan melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial, serta akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena itu, gerakan untuk membangun kesadaran berzakat, harus terus menerus dibangun, agar potensi zakat yang mencapai angka Rp 217 triliun ini dapat direalisasikan. Wallahu a’lam.

Dr Irfan Syauqi Beik
Direktur Eksekutif Indonesia Strategic Intelligence (INSTRAL)
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

*Dimuat di Kolom Tsaqofi Republika 27 September 2012

Purifikasi Keuangan Syariah

Dr Irfan Syauqi Beik

Terungkapnya kasus pembiayaan fiktif di sebuah bank syariah baru-baru ini telah menggemparkan dunia keuangan syariah nasional. Berawal dari temuan tim auditor internal bank syariah tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan laporan ke pihak Polri pada bulan September 2012 lalu. Di satu sisi, peristiwa itu telah menunjukkan integritas dan ketegasan pihak bank syariah, meski terhadap keluarga sendiri, yang tidak memberi ruang toleransi pada segala bentuk penyimpangan, baik penyimpangan terhadap aturan agama maupun hukum positif yang berlaku. Patut kita acungkan jempol pada keberanian pihak bank syariah untuk mengungkap pelanggaran ini secara terbuka kepada publik dan mengambil tindakan terhadap pegawainya yang terlibat.
Namun di sisi lain, peristiwa tersebut memberikan pelajaran bahwa persoalan kualitas SDM yang berakhlakul karimah dan kapabel, harus tetap dijadikan sebagai prioritas utama. Para bankir syariah adalah ujung tombak yang akan memberikan warna dan persepsi kepada publik mengenai apa itu ekonomi dan keuangan syariah. Ketertarikan maupun keengganan orang untuk menggunakan jasa layanan perbankan syariah, sangat ditentukan oleh ‘penampilan’ SDM yang ada, apalagi di tengah era persaingan ketat yang membutuhkan service excellence yang sangat bergantung pada sistim dan SDM. Penulis banyak menemukan fakta di lapangan, dimana ada pengusaha yang tertarik untuk bertransaksi dengan bank syariah, hanya karena mereka diberikan kesempatan oleh pegawai bank untuk mengungkapkan pendapatnya tentang besaran marjin profit murabahah yang menjadi kewajiban mereka. Oleh karena itu, kejadian ini telah mengingatkan kita untuk senantiasa melakukan purifikasi terhadap praktik dan mekanisme kerja bank syariah, agar tetap berada dalam koridor semangat menegakkan ekonomi syariah.
Sebagaimana yang pernah penulis bahas beberapa tahun lalu pada rubrik opini di harian ini, tepatnya edisi 6 Agustus 2005, bahwa tahap penting pasca fase pertumbuhan (growth stage) adalah fase purifikasi. Secara sederhana, penulis menggambarkan bahwa fase pembangunan industri perbankan syariah ini ada enam, yaitu fase sosialisasi, fase pendirian (establishment stage), fase stabilisasi (stabilization stage), fase pertumbuhan (growth stage), fase purifikasi (purification stage) dan fase pengembangan (development stage). Fase purifikasi ini penulis tempatkan setelah fase pertumbuhan, karena penulis berpendapat bahwa pertumbuhan dari perspektif ekonomi ini selalu memiliki dua sisi, yaitu sisi positif maupun negatif.
Sisi positifnya, pertumbuhan bank syariah akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, melalui penyediaan lapangan kerja, peningkatan kecepatan peredaran barang dan jasa (velocity of transaction), stabilitas inflasi, dan sebagainya. Rubrik Iqtishodia ini telah banyak menurunkan sejumlah studi tentang dampak positif bank syariah terhadap perekonomian bangsa, seperti hubungan positif pembiayaan bank syariah dengan industrial production index (IPI) yang menjadi indikator pertumbuhan sektor riil.
Sedangkan sisi negatifnya, pertumbuhan yang tinggi akan selalu membuka ruang moral hazard yang lebih besar. Ini dikarenakan pertumbuhan yang tinggi biasanya diikuti oleh dua masalah utama. Pertama, adanya problem asymmetric information yang semakin besar diantara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Kedua, adanya perubahan perilaku dari para economic agent. Pada masalah yang pertama, kesenjangan informasi yang terjadi biasanya akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berniat busuk, yang memiliki akses kuat terhadap informasi internal suatu institusi bisnis dan keuangan. Tidaklah mengherankan jika semua kasus kredit fiktif di dunia perbankan pasti melibatkan orang dalam.
Pada masalah yang kedua, pertumbuhan yang tinggi berpotensi mengubah perilaku atau gaya hidup pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ke arah yang lebih buruk. Telah banyak contoh terkait ini, dimana perilaku akan berubah seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan. Karena itu, Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa banyak orang yang tahan ketika diuji dengan kesulitan, tetapi tidak tahan ketika diuji dengan kesenangan dan kemudahan.
Untuk itu, misi purifikasi keuangan syariah ini harus diarahkan pada dua hal pokok. Pertama, perlu dibangunnya sistim pengendalian institusi keuangan syariah yang lebih efektif, yang menjamin reward and punishment yang adil. Pengawasan harus lebih ketat dan tidak boleh ada toleransi terhadap para pelaku kejahatan sekecil apapun. Prinsip ‘membalas’ setiap kebaikan dan keburukan, walaupun sebesar biji dzarroh, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS Al Zalzalah : 7-8, harus bisa diimplementasikan dalam sistim keuangan syariah kita. Kedua, purifikasi bankir syariah, agar mereka memiliki niat dan motivasi yang kuat karena Allah, sehingga perilaku keseharian mereka tetap berada pada koridor ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan bebas dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Wallahu a’lam.

Dr Irfan Syauqi Beik
Direktur Eksekutif Indonesia Strategic Intelligence (INSTRAL)
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
**Artikel ini telah dimuat di harian Republika edisi 31 Oktober 2013 (kolom Tsaqofi - Iqtishodia)

Membangkitkan Kembali Gerakan Zakat Indonesia

Ahmad Juwaini, SE, MM

Sudah delapan bulan berlalu, sejak persidangan terakhir di Mahkamah Konstitusi terkait Judicial Review atas UU Zakat Tahun 2011,  namun keputusannya masih belum menampakkan kejelasan. Jamaah pelaku dan pemerhati zakat di Indonesia seakan dipaksa untuk terus menunggu tibanya palu godam diketukkan di meja hakim konstitusi. Belum jelasnya keputusan Judicial Review tentu membuat sebagian pelaku zakat seperti berjalan tanpa arah. Sementara sebagian yang lain terus bergerak memanfaatkan situasi dan sebagian yang lain tidak peduli.
Delapan bulan tanpa keputusan, ditambah delapan bulan sebelumnya dalam riak-riak mencari tafsir, genap sudah 16 bulan sejak UU zakat diputuskan, menjadikan pergerakan zakat Indonesia bagai terperosok dalam gua gelap ketidakpastian. Kini semua pelaku zakat di Indonesia seolah terlena dengan dunianya masing-masing dalam gerak satuan-satuan kecil, bahkan sebagiannya hanya menyibukkan diri dalam urusan organisasinya masing-masing. Kondisi ini seolah telah mengantarkan gerakan zakat Indonesia seakan telah menjadi mandek.
Kondisi ini harus diubah. Kondisi gerakan zakat di Indonesia harus didinamisir kembali. Gerakan zakat di Indonesia harus dibangkitkan kembali. Perlu ada langkah-langkah yang dilakukan untuk membangkitkan kembali energi kejuangan zakat di Indonesia. Perlu ada terobosan-terobosan untuk menyuntikkan nafas baru dalam perkembangan zakat di Indonesia. Perlu ada upaya serius untuk menggerakkan kembali laju lokomotif, sekaligus gerbong panjang perzakatan di Indonesia. Beberapa langkah yang harus diambil tersebut adalah antara lain :
1. Mengembalikan semangat dan koridor zakat di Indonesia pada kesetimbangan awal dunia zakat, dimana pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang sama penting dalam mengembangkan dan mengelola zakat di Indonesia, tanpa harus memikirkan siapa harus mengatur siapa atau siapa di atas dan siapa di bawah.
2. Merekatkan kembali tali kebersamaan perzakatan di Indonesia pada kepentingan besar dunia zakat, yaitu meningkatkan mobilisasi zakat di Indonesia secara keseluruhan, meningkatkan kualitas pengelola zakat termasuk di dalamnya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelola zakat dan meningkatkan pendayagunaan zakat untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.
3. Menggairahkan dan meningkatkan sinergi antar pengelola zakat, melalui berbagai kegiatan, baik sinergi dalam rangka meningkatkan penyadaran zakat, sinergi meningkatkan kualitas pengelola zakat dan sinergi dalam rangka memanfaatkan zakat dalam membantu fakir miskin dan mengurangi kemiskinan di Indonesia.
4. Menggerakan perzakatan di Indonesia untuk memiliki peran besar dalam mengembangkan pergerakan zakat internasional, baik di tingkat asia tenggara, maupun di dunia. Perzakatan Indonesia saat ini sedang dinantikan kiprahnya untuk memanggul amanah menggerakkan zakat di dunia.
Dengan mencoba mengabaikan ketidakjelasan keputusan Mahakamah Konstitusi atas Judicial Review UU Zakat 2011 atau mencoba untuk tetap memandang penting empat langkah di atas, maka keputusan apapun yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi, dalam implementasi pengembangan zakat harus tetap dilandasi atau dijiwai oleh keinginan untuk membangkitkan kembali gerakan zakat di Indonesia. Kita harus berusaha untuk mengedepankan subtansi dan kepentingan jamaah zakat secara menyeluruh, dibandingkan mendewa-dewakan formalitas tetapi berakibat mematikan sebagian potensi dan dinamika yang sesungguhnya kita perlukan bagi perkembangan zakat ke depan. Marilah kita jadikan Indonesia adalah negeri dimana zakat terus berkembang pesat, semakin bermanfaat dan dampaknya mempengaruhi perzakatan sejagat. 

Pemuda dan Gerakan Zakat

 Ahmad Juwaini, SE, MM

Dalam setiap perkembangan masyarakat, pemuda berfungsi sebagai energi penggerak yang mendinamisir perubahan di dalamnya. Semangat keberanian dan kreativitas pemuda meniscayakan lahirnya gagasan-gagasan baru yang menyuntikkan proses rejuvenasi bidang kehidupan. Suasana monoton dan konvensional dalam suatu masyarakat telah diubah melalui keterlibatan dan dinamika pemuda. Pemuda, sejatinya adalah makna kelompok usia tertentu dalam kelas sosial masyarakat. Pemuda dalam piramida penduduk, seringkali dimaknai sebagai kelompok usia di bawah 35 tahun. Namun kepemudaan sesungguhnya adalah ruh yang menggelora dalam dada setiap insan yang senantiasa memiliki keberanian, kreativitas dan inovasi untuk melahirkan sesuatu yang baru dalam menciptakan perbaikan keadaan. Jika kita menyelami perkembangan zakat di Indonesia, tak pelak kita akan menemukan fakta peran para pemuda dalam mengubah sejarah zakat di Indonesia. Pada periode sebelum akhir dasawarsa 80-an, suasana dunia zakat di Indonesia berkesan tradisional, konvensional dan monoton. Pada periode ini tidak tampak suatu gairah dan gelora dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Sebagian masyarakat cenderung berpandangan miring terhadap pengelola zakat. Memasuki penghujung 80-an dan awal 90-an, terutama dengan kemunculan organisasi-organisasi pengelola zakat “swasta”, dunia zakat mulai digerakkan oleh kaum muda yang rata-rata berusia di bawah 35 tahun. Bahkan sebagian besar awak pengelola zakat saat itu berusia di bawah 30 tahun. Para pemuda yang umumnya baru menamatkan bangku perguruan tinggi ini memasuki dunia zakat dengan membawa gelegak semangat dunia kemahasiswaan. Mereka menjadikan pengelolaan zakat sebagai media baru idealisme perjuangan yang pernah dimiliki saat menjadi mahasiswa. Kelompok pemuda inilah yang kemudian tanpa terbebani warisan masa lalu dunia zakat, melakukan terobosan-terobosan inovatif dalam pengelolaan zakat. Kelompok inilah yang akhirnya melahirkan model pengelolaan zakat yang lebih modern, terbuka, profesional, berorientasi manfaat untuk masyarakat dan menjadikan profesi sebagai pengelola zakat (amil) menjadi profesi yang dapat dibanggakan. Dalam perkembangan lebih jauh, kelompok pemuda inilah yang telah mewarnai pengelolaan zakat di Indonesia sebagai sebuah gerakan kemanusian, kepedulian dan pemberdayaan. Dalam perkembangan lebih lanjut, tentu saja para pemuda ini telah meninggalkan makna lahir kepemudaan, karena sebagian dari mereka kini tidak berusia muda lagi. Kelompok pemuda dari generasi pertama pengelola zakat ini kini telah menjadi kelompok dewasa dengan bekal pengalaman yang telah dimiliki. Kearifan dan kematangan kelompok dewasa ini semoga terus menjadi inspirasi yang menuntun roda gerakan zakat. Kekuatan generasi pertama ini harus didukung oleh kelompok pemuda generasi kedua untuk tetap menjaga kesegaran dunia zakat. Dunia zakat harus terus diisi oleh para fresh graduate dari perguruan tinggi yang masih menyimpan energi idealisme kepemudaan yang masih penuh. Dunia zakat juga harus senantiasa menyediakan ruang terbuka yang cukup bagi kalangan muda untuk melontarkan gagasan-gagasan penuh terobosan untuk mendinamisir perkembangan zakat di Indonesia. Dunia zakat harus mampu mengakomodasi kreativitas dan inovasi dari para pemuda untuk terus menggelorakan gerakan zakat. Pengelolaan zakat juga harus mampu menjadi media penempa bagi berkembangnya kapasitas para pemuda. Baik ketika para pemuda tersebut mengembangkan dirinya dalam organisasi pengelola zakat, maupun ketika pengelola zakat melakukan kegiatan yang mengembangkan kemampuan pemuda. Beberapa kegiatan pendayagunaan zakat untuk mengembangkan pemuda misalnya adalah beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa, pelatihan kewirausahaan untuk pemuda serta pembentukan organisasi relawan dan kepedulian untuk remaja. Pada akhirnya, setiap proses pengembangan pemuda, termasuk yang terjadi dalam dunia zakat akan menyumbangkan lahirnya para pemimpin yang akan mewarnai perubahan masyarakat. Menjadi tugas semua pihak yang terlibat dalam dunia zakat untuk terus menjadikan unsur kepemudaan sebagai elemen penting dalam perkembangan gerakan zakat.